Hukum

Vonis PN Singaraja: 11 KK Banyuasri Kesepekang Kecewa, Putusan Hakim Tak Mengacu Pada Putusan MDA Bali

Mudita Bilang Putusan Hakim itu Tidak Memenangkan Salah Satu Kubu

Quotation:

Kalau kita baca amar putusan hakim ini, kita kan draw ini. Gugatan kami juga ditolak, gugatan rekonvensi tergugat juga ditolak,” ucap Nyoman Mudita, SH.

Singaraja, SINARTIMUR.com – Pasca putusan majelis hakim PN Singaraja yang mengesahkan proses Ngadegang Kelian Desa Adat Banyuasri, muncul reaksi keras dari kubu 11 warga Banyuasri kesepekang yang juga sebagai penggugat.

Dalam keterangan pers di kediaman salah satu anggota kubu 11 KK kesepekang di Jalan Udayana Singaraja, Rabu (19/6/2024) siang, penasehat hukum mereka, Nyoman Mudita, SH, menyampaikan rasa kecewa 11 KK kesepekang itu.

Mudita didampingi kliennya dari kubu 11 KK kesepekang itu sangat menyayangkan putusan majelis hakim yang tidak mengacu pada objek sengketa perkara yakni putusan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi yang isinya menganulir keputusan Desa Adat Banyuasri yang menjatuhkan hukuman adat bagi 11KK warga Banyuasri yang dinilai melawan adat berupa sanksi atau hukuman kesepekang.

“Majelis tidak mencermati sama sekali putusan MDA Provinsi Bali yang menjadi objek sengketa perkara ini. Objek ini betul-betul tidak dicermati, tidak diteliti untuk memperkuatkan keputusan MDA Provinsi Bali ini sebagai lembaga tertinggi adat di Bali. Kenapa putusan majelis hakim tidak berdasarkan pada putusan MDA Bali, ini yang saya khawatirkan,” ungakp Mudita dengan nada tinggi.

“Harapan kami agar majelis hakim memnberika legitimasi terhadap putusan MDA Provinsi Bali ini yang tidak didapatkan oleh 11KK kesepekang. Justru pendapat hakim, keyakinan hakim seolah-olah tidak ada perkara adat di MDA, seolah-olah tidak keputusan MDA yang melakukan pelanggaran-pelanggaran itu,” krtik Mudita.

 

Mudita pun menguraikan bahwa tindakan kliennya itu bukan melanggaran aturan adat melainkan persoalan demokrasi yakni terhadap persyaratan dan tahapaan pemilihan Kelian Desa dat Banyuasri. Mudita pun mengungkapan bahwa dalam awig-awig Desa Adat Banyuasri tidak diatur soal hukum adat kesekepang. “Yang lebih penting adalah keputusan kesepekang ini di awig-awig pararem Desa Adat Banyuasri tidak ada, tidak ada pasal awih-awig yang mengatur hukuman kesepekang, kok bisa membikin keputusan kesepekang, dan dasar hukumnya tidak ada, hanya rapat paruman agung katanya yang diikuti oleh beberapa orang memutuskan kesepekang,” ungkap Mudita.

“Ini kan berbahaya sekali. Saya orang Hindu, orang Bali tidak setuju dengan adanya kesepekang ini. Dasar acuan atau ketentuannya tidak ada, kalaupun ada dicabut saja, jangan lagi ada kesepekang, masih ada lagi sanksi-sanksi lain yang lebih manusiawi, yang lebih produktif untuk keberadaan manusia. Apalagi ada paruman desa adat seluruh Bali tanggal 22 Juni 2019 di Pura Samuan Tiga memutuskan bahwa tidak boleh awig-awig atau perarem di Desa Adat di seluruh Bali mencantumkan yang namanya kesepakang,” tegas Mudita.

Bukan hanya itu. Mudita memparkan bahwa dalam sidang di PN Singaraja Mudita yang menghadirkan saksi ahli dari Unud juga memperkuat ptuusan parumana desa adat seluruh Bali itu. “Saksi ahli dari Unud juga sudah jelas menyampaikan itu, kenapa majelis hakim tidak mencantum sebagai pertimbangan-pertimbangan hukum, keputusan MDA ini yang tertinggi lembaga adat di Bali, kok tidak dijadikan acuan. Ini yang kami keberatan dalam keputusan ini sehingga kami lakukan banding,” urainya.

“Mudah-mudahan hakim di Pengadilan Tinggi lebih jeli, lebih teliti, lebih memahami tentang kasus ini dari konteks kepentingan manusia, kepentingan warga negara, kepentingan krama yang ada di Bali. Masih ada sanksi-sanksi yang lain yang lebih manusiawi dan lebuh produktif,” harapanya.

Bagaimana sesungguhnya keputusan hakim kemarin? “Kalau kita baca amar putusan hakim ini, kita kan draw (seri) ini. Gugatan kami juga ditolak, gugatan rekonvensi tergugat juga ditolak. Justru yang dikabulkan itu adalah apa yang sudah tidak dibenarkan oleh keputusan MDA Provinsi Bali ini. Sehingga kami boleh berpendapat bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini mengabaikan keputusan MDA Provinisi Bali. Majelis tidak mencermati sama sekali putusan MDA yang menjadi objek sengketa perkara ini. Objek ini betul-betul tidak dicermati, tidak diteliti untuk memperkuatkan keputusan MDA Provinsi Bali ini sebagai lembaga tertinggi adat di Bali. Kenapa putusan majelis hakim tidak berdasarkanpada putusan MDA Bali,” tandas Mudita lagi.

Kemudian, Mudita pun bercerita panjang lebar tentang awal munculnya konfliks tersebut. “11 KK di Banyuasri ini dikesepekang sudah lebih dari 2 tahun sehingga dalam waktu 2 tahun itu tidak dapat pelayanan adat. Semua proses yang dilakukan 11 KK adalah nelakukan mediasi baik di MDA Kecamatan, MDA Kabupaten, maupun MDAProvinisi (Bali). Keptusan MDA Provinsi dalam mediasi maupun dalam wicara sabha kerthanya (pengadilan) itu menyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh Kelian Desa Adat dan Prajuru Desa Adat Banyuasri tentang kesepekang itu sudah tidak dibenarkan alias 11 KK dimenangkan oleh MDA Provinsi pertanggal 15 November 2022,” tutur Mudita lagi.

Mudita menceritakan, “Pasca keputusan ini, 2 tahun lebih 11 KK ini tidak dikasih pelayanan adat termasuk pelayanan salah satu penggugat ini drh Ketut Swardana anaknya menikah tidak dilayani di Catpil mencari akte perkawinan dengan adanya surat keberatan dari Desa Adat Banyuasri.”

“Akhirnya keputusan MDA ini tidak dilaksanakan oleh Kelian Adat danPrajuru Desa Adat Banyuasri, maka (kita) melakukan gugatan PMH (perbuatan melawan hukum) atas Kelian Adat dan Prajuru. Yang digugat itu adalah Kelian Desa Adat dan Prajuru bukan Desa Adat Banyuasri. Saya tegaskan ini, 11 KK yang kesepekang ini bukan menggugat Desa Adat Banyuasri tetapi memnggugat Kelian Desa Adat dan Prajuru Desa Adat Banyuasri. Bukan hanya penggugat saja tapi keluarganya semua dikesepekang, ini keluarga besar Pasek Gelgel dan Pasek Tohjiwa. Oleh karena itu melakukan gugatan PMH ke Pengadilan dengan harapan majelis hakim yang menyidangkan perkara ini cermat, teliti, dan hati-hati, serta memberikan legitimasi terhadap Keputusan MDA Provinsi Bali yang final dan mengikat sesuai dengan Perda Bali No 4 Tahun 2019 pasal 97,” pungkas Mudita.

Mudita menegaskan bahwa akibat putusan majelis hakim yang mengabagai objek sengketa perkara dalam amar putusannya, maka pihaknya langsung menyatakan banding dan sudah didaftarkan.

Writer/Editor: Francelino

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button