SENI BUDAYA

Catatan Budaya: “Pangkonan” – Tradisi Unik Desa Padangbulia Penuh Nilai Kebersamaan

Quotation:

Tradisi Pangkonan ini melambangkan prinsip purusa kerthi. Di dalamnya, lanang (laki-laki) ditempatkan di sisi kanan, sedangkan wadon (perempuan) di sisi kiri, semuanya berkumpul di tempat yang disebut balai bundar,” papar Perbekel Desa Padangbulia, I Gusti Nyoman Suparwata.

Singaraja, SINARTIMUR.com – Yadnya memiliki arti pemujaan, persembahan, atau korban suci yang dapat bersifat material atau non-material. Esensi dari Yadnya adalah tindakan yang dilakukan dengan hati yang tulus dan suci, semata-mata demi tujuan yang mulia dan luhur. Ada empat jenis Yadnya, dan salah satunya adalah Pitra Yadnya.

Pitra Yadnya merupakan ritual persembahan bagi leluhur dan di Bali, pelaksanaannya memiliki berbagai tingkatan. Meskipun demikian, setiap daerah memiliki keunikan dalam tradisi penyelenggaraannya. Sebagai contoh, di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, pitra yadnya dilaksanakan dengan tradisi khusus yang dikenal dengan nama “Pangkonan”.

Istilah “Pangkonan” berasal dari kata “Mangkon” yang berarti melinggih. Dalam konteks ini, “Pangkonan” yang diklasifikasikan tegak gede mengacu pada tradisi menempatkan seseorang dan menikmati hidangan yang telah disiapkan di satu tempat untuk 32 orang, yang terdiri dari 16 laki-laki dan 16 perempuan.

“Tradisi Pangkonan ini melambangkan prinsip purusa kerthi. Di dalamnya, lanang (laki-laki) ditempatkan di sisi kanan, sedangkan wadon (perempuan) di sisi kiri, semuanya berkumpul di tempat yang disebut balai bundar,” papar Perbekel Desa Padangbulia, I Gusti Nyoman Suparwata pada Jumat, (3/11/2023) di ruang kerjanya.

Pelaksanaan tradisi ini umumnya diselenggarakan pada tingkatan yadnya Utamaning Utama dan Utamaning Madya, baik hal tersebut dilaksanakan pada keluarga inti saja, maupun pada kegiatan pengabenan massal. Adapun urutan pada saat pelaksanaan tradisi ini ketika hendak memulai untuk menduduki bale gede, urutan dari golongan tertua yang menjadi upasaksi menghadiri kegiatan tersebut seperti prajuru adat, bendesa, kelihan adat, dan dilanjutkan dengan keluarga inti dari pelakasana upacara tersebut.

 

Upakara yang disiapkan sebelum kegiatan tersebutpun tergolong unik. Pasalnya, beberapa tempat nasi yang disajikan sedemikan rupa atau yang disebut dalam satu tandingan itu, terdiri dari kepala babi guling, nasi, lauk pauk, dan dilengkapi arak berem.

“Kegiatan ini ada pengarah acara yang menunjuk posisi dari peserta Pangkonan dan urutannya agar tersusun sesuai dengan jumlah dan tingkatan umurnya,” jelasnya.

Meskipun Pangkonan tegak gede ini kebanyakan dilaksanakan berdasar tingkatan utamaning utama, Mekel Suparwata menjelaskan bagi umat yang terkendala biaya pelaksanaan bisa melaksanakan Pangkonan Banten yang menjadi bagian dari tingkatan Utamaning Nista dengan hanya mempersembahkan haturan tandingan hanya kepada Sang Hyang Pitara agar proses yadnya tetap terpenuhi dan tetap memperoleh kesejahteraan tanpa mengurangi arti yadnya tersebut.

Sebagai perbekel yang sudah memimpin desa selama 25 tahun tersebut sejak 1998, mengaku Pangkonan ini kaya akan nilai kebersamaan sesama manusia terlihat saat Masyarakat Desa Padangbulia mempersiapkan pelaksanaan tradisi dengan gotong royong dan menikmati tandingan bersama.

Nilai tanggungjawab pun tidak ditinggalkan pada kegiatan ini terlihat dari pelaksanaan tradisi Pangkonan yang tetap dilaksanakan dengan berbagai tingkatan yadnya pada setiap kegiatan Pitra Yadya sehingga tradisi yang penuh dengan filosofi dan nilai – nilai positif ini tetap terjaga dan terlestarikan dengan baik.

“Tujuan dari Pangkonan ini agar memperlancar kegiatan dari upacara Pitra Yadnya tersebut, dan diharapkan dengan dilaksanakan Pangkonan Masyarakat khususnya di Desa Padangbulia tetap terjaga keseejahteraannya,” pungkasnya. (francelino xxf)

  Banner Iklan Rafting Jarrak Travel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button